Menentukan Awal Ramadhan

Seperti biasanya setiap tahun di negeri kita ini akan repot dalam menentukan awal bulan Ramadhan (dan juga awal bulan Syawal), sementara penentuan awal bulan Hijriyah lainnya tidak pernah dihebohkan. Alasannya adalah karena pada awal Ramadhan ummat Islam harus mulai berpuasa, dan pada awal bulan Syawal tidak boleh (haram) berpuasa. Seperti biasanya pula, di negeri kita ini, akan ada perbedaan di dalam menentukan tanggal 1 Ramadhan dan/atau tanggal 1 Syawal.

Menjelang Ramadhan, seperti biasa juga, akan beredar SMS-SMS permintaan maaf dan info tentang Ramadhan. Salah satu SMS menarik yang saya terima hari ini adalah dari bang Ferry, yang isinya:

"Meskipun pada saat matahari tenggelam nanti sore, usia bulan baru 6 jam - setara dengan ketinggian di bawah 2 derajat sehingga tidak kasat mata - tapi di saat sahur esok hari, usia bulan sudah 16 jam. Sehingga sudah sangat tinggi, untuk memulai berpuasa.. :)
Bagi yang memulai puasa besok, Anda akan berpuasa 30 hari. Sedangkan yang memulai lusa, akan berpuasa 29 hari. Dan Insya Allah, lebarannya akan barsamaan pada tgl 1 Syawal (19/8)."

Perbedaan dalam menghitung (hisab) dan melihat bulan (rukyatul hilal) sudah biasa, namun dari SMS ini ada hal yang cukup menggelitik, yaitu kata-kata "tapi di saat sahur esok hari, usia bulan sudah 16 jam. Sehingga sudah sangat tinggi, untuk memulai berpuasa." Teks tersebut memang diiringi dengan ikon senyum :) oleh aba Ferry, dan ini justru yang menggelitik.

Sepengetahuan saya, penentuan awal bulan itu ditentukan pada sore hari (maghrib), karena hari dalam kalendar Hijriyah dimulai pada saat maghrib. Kalau bulan belum terlihat oleh mata (karena belum cukup tinggi sehingga tidak bisa terlihat), berarti belum masuk hari baru. Nah, kalau pada saat 'sahur', tentu saja bulan sudah tinggi, tetapi itu bukan awal hari....

Karena tergelitik, saya menelpon bang Ferry, ya sekalian silaturrahmi karena sudah lama juga tidak bersua dan bercanda sebagaimana semula... (hehe pakai sajak 'a' :))

Dalam diskusi sempat disebut-sebut tentang teropong dan teknologi baru untuk melihat hilal (bulan). Kata saya, melihat bulan itu harus dengan mata, sebagaimana dilakukan oleh para Sahabat di zaman Nabi SAW. Hal ini tentu sesuai petunjuk Nabi, dan tentu pula petunjuk Nabi pastilah berasal dari Sang Khalik. Mengapa melihat dengan mata? Seharusnya bukan dijawab "karena dulu nggak ada teropong". Jawabannya semestinya menyandarkan kepada 'keadaan' manusia, karena agama ini untuk manusia, mestilah menggunakan ukuran manusia. Manusia sudah dilengkapi dengan indra mata untuk melihat bulan, dan itulah ukuran manusia. Jadi, tidak benarlah kalau sekarang sesudah ada teropong maka penglihatan mata secara kasat menjadi dikesampingkan (tidak diandalkan) lagi.

Well, saya bukan ahlinya, jadi tulisan di atas sekadar urun pendapat saya (lagi-lagi) sebagai manusia biasa :)

Informasi lain yang mungkin lebih akurat bisa dilihat di:
 Wallahu a'lam bishawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar