Dari pemberitaan hanya sedikit informasi yang menyebutkan lokasi peristiwa secara detil. Umumnya orang luar hanya mengetahui bahwa peristiwa bentrokan antara Polisi dan warga masyarakat tersebut terjadi di Bima. Walaupun disebutkan juga bahwa peristiwa terjadi di pelabuhan Sape, namun penyebutan lokasi ini tidak cukup mengurangi kesan bahwa peristiwa berdarah yang memakan korban tersebut terjadi di ‘seluruh’ Bima.
Perlu diinformasikan di sini bahwa Pelabuhan Sape berada di ujung timur wilayah KABUPATEN BIMA, terletak di kecamatan Sape. Bima sendiri terdiri dari Kota (madya) Bima dan Kabupaten Bima. Wilayah yang ‘bergolak’ adalah dua kecamatan di bagian timur kabupaten Bima, yaitu kecamatan Sape dan kecamatan Lambu.
Mengenai peristiwanya sendiri, sebenarnya tidak berdiri sendiri dan pada kurun 19-24 Desember 2011 saja (pendudukan pelabuhan Sape oleh pengunjuk rasa), namun juga terjadi beberapa persitiwa sebelum itu.
Dari banyak berita yang beredar, mungkin bisa disarikan sebagai berikut:
- Masyarakat melakukan reaksi penolakan atau menuntut Bupati Bima (Bp. Ferry Zulkarnain) agar membatalkan atau mencabut izin penambangan emas yang diberikan kepada PT Sumber Mineral Nusantara (PT SMN), yang memiliki konsesi lahan seluas 24.980 ha, karena dianggap bisa merusak lingkungan hidup dan pencaharaian masyarakat. Ijin ini diberikan oleh Bupati pada April 2010.
(Adapun perusahaan penambangan lain yang juga disebut-sebut adalah PT Indo Mineral Persada (PT IMP) yang memperoleh ijin untuk menambang pada lahan seluas 14.318 ha di kecamatan Prado yang terletak di sebelah selatan kabupaten Bima).
- Sepanjang tahun 2010-2011 telah berkali-kali dilakukan ‘perundingan’, namun dari pihak Pemda menyatakan tidak bisa mencabut ijin yang sudah diberikan karena akan dianggap melanggar undang-undang yang berlaku (UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara).
- Senin, 19 Desember 2011, masyarakat yang mengatasnamakan Front Reformasi Anti Tambang (FRAT) menggelar unjuk rasa dengan “menduduki” pelabuhan Sape, dan melarang semua kegiatan di pelabuhan. Tuntutannya ada 2, yaitu: Cabut ijin PT MSN, dan bebaskan AS, seorang tersangka pembakaran kantor camat Lambu pada tanggal 10 Maret 2011.
Aksi ini otomatis melumpuhkan pelabuhan Sape dan memutus jalur transportasi darat/laut ke propinsi NTT.
- Aparat kepolisian yang dipimpin langsung oleh Kapolda NTB melakukan pendekatan secara persuasif kepada pengunjuk rasa, dan pada hari Jumat tanggal 23 Desember 2011 khabarnya Bupati mengeluarkan SK penundaan operasional penambangan kepada PT PSN.
- Karena warga pengunjuk rasa tidak bergeming karena tuntutannya tidak terpenuhi, maka pada hari Sabtu 24 Desember 2011, jam 7 pagi, pihak kepolisian melakukan pembubaran secara paksa. Menurut berita yang beredar, jam 8 pagi dimulai penembakan ke atas, dan jam 9 pagi dimulai penembakan ke arah pengunjuk rasa sehingga memakan korban dua orang meninggal dunia dan belasan lainnya luka-luka (dirawat di rumah sakit Bima, 2 di antaranya menderita luka tembak yang sangat serius).
Kedua orang yang meninggal adalah: Arif Rahman (18 tahun) dan Syaiful (17 tahun). Keduanya tewas terkena tembakan.
Pada saat itu tertangkap 54 orang demonstran, 47 orang di antaranya ditetapkan sebagai tersangka.
Menurut berbagai pihak, upaya pembubaran paksa ini lebih mirip sebagai penyerangan oleh polisi kepada masyarakat, karena dilakukan oleh ratusan anggota Brimob yang bersenjata laras panjang. Namun menurut polisi, tindakan represif itu terpaksa dilakukan karena mendapat perlawanan dari para demonstran. Diungkapkan bahwa dari para demonstran disita senjata berupa: 10 parang, 4 sabit, 1 tombak, 1 bom molotov, dan 2 botol bensin.
Menurut Kapolda NTB, Brigjen Polisi Arif Wachyunadi, tindakan tegas dilakukan karena aksi warga yang memblokade pelabuhan dinilai sudah mengganggu.
Terungkap bahwa provokator yang tertangkap adalah H (yang merupakan DPO Polda NTB), A alias O, dan Sy.
- Pasca pembubaran secara paksa, ratusan massa demonstran melampiaskan amarah dengan membakar kantor Kepala Desa Lambu, rumah Kepala Desa Lambu, Polsek Lambu, perumahan Polsek, rumah Kapolsek, UPTD Kehutanan, KUA, Kantor Dikpora, perumahan warga, 3 rumah BTN, dan 29 rumah masyarakat dirusak.
- Tindakan penyerangan warga oleh polisi di Bima mendapat banyak kecaman. Aksi demo merebak dimana-mana, seperti yang dilakukan oleh mahasiswa di Mataram, Jakarta, dan Makassar.
Hampir ratusan kali aksi yang di lakukan oleh mahasiswa dan masyarakat dalam tuntutan yang sama, yaitu menolak pertambangan dan segera mencabut surat keputusan 188 pemerintah daerah terhadap perjanjian eksplorasi tambang yang berada di lokasi sape, lambu, dan langgudu. Namun aksi yang di lakukan kali ini cukup seksi di mata nasional maupun internasional. Apa lagi dengan terang-terangan aparat kepolosian melakukan tindakan egresif terhadap masyarakat yang melakukan demonstrasi.
BalasHapus