Senin, 16 Mei 2022, Ustadz Abdul Somad atau dikenal dengan sebutan UAS akan masuk ke Singapura melalui penyeberangan kapal ferry dari Batam, Indonesia, ke Tanah Merah, Singapura. UAS bersama rombongan yang terdiri dari anak dan istrinya, serta sahabat beserta keluarganya, dengan tujuan berlibur.
Ketika di Imigrasi Singapura, seluruh rombongan sudah melewati, sementara UAS terakhir. Ketika sudah selesai pemeriksaan dan semua dokumen lengkap, UAS malah ditarik kembali dan ditempatkan pada sebuah ruang kecil berukuran 1 x 2 m, yang menurut UAS seperti luas kuburan.
Alhasil, setelah menunggu selama 4 jam, UAS dinyatakan tidak "eligible" untuk masuk ke Singapura, dan seluruh rombongannya pun diminta untuk pulang kembali ke Indonesia, menggunakan kapal penyeberangan terakhir hari itu (sudah malam).
Berita tentang penolakan UAS untuk masuk Singapura ini kemudian viral karena UAS mengunggah videonya ke medsos.
Bukan Deportasi, Tetapi Not To Land (NTL)
Bagi UAS, peristiwa yang dialaminya disebut sebagai "deportasi" karena beliau sudah masuk ke wilayah Singapura namun dipulangkan kembali. Namun keterangan dari berbagai pihak termasuk imigrasi Singapura sendiri, peristiwa itu bukan "deportasi" tetapi disebut "Not To Land" atau NTL, yaitu penolakan terhadap UAS untuk memasuki wilayah Singapura.
Alasan yang akhirnya terkuak mengapa UAS ditolak masuk Singapura adalah tidak "eligible" (tidak memenuhi kriteria) untuk masuk negeri Singapura. Alasan ini terkuak setelah kedutaan besar RI untuk Singapura meminta penjelasan, karena alasan penolakan masuk ke suatu negeri "katanya" tidak harus dikemukakan. Bagian Imigrasi di seluruh dunia, katanya, berhak secara subyektif menolak seseorang masuk ke negaranya tanpa harus menjelaskan alasannya! Penolakan ini berlaku bagi siapa saja, bahkan terhadap orang yang sudah diberikan visa sekalipun, seperti yang pernah dialami oleh Jendral Gatot Nurmantyo ketika hendak berkunjung ke USA (padahal kunjungan tersebut atas undangan resmi untuk menghadiri sebuah acara dan sudah mendapatkan visa).
Alasan Sebenarnya
Mendapatkan alasan tidak "eligible" membuat orang menjadi penasaran, apa dong kriteria sehingga seseorang menjadi tidak eligible untuk masuk ke sebuah negara?
Dalam kasus Ustadz Abdul Somad ini, akhirnya muncul keterangan resmi dari kementerian dalam negeri Singapura (Ministry of Home Affairs/MHA) yang bisa di lihat di sini.
Di halaman penjelasan itu disebutkan alasan kenapa UAS ditolak masuk Singapura, yaitu karena UAS dianggap ekstrimis dan segregasionis, misalnya karena mengatakan bom bunuh diri itu legal dalam konteks konflik Palestina-Israel, menganggap orang non-Muslim sebagai kafir, dan pernah mengatakan bahwa salib adalah tempat tinggal setan. Berdasarkan alasan itu maka pemerintah Singapura tidak berkenan UAS masuk ke negeri mereka.
Singapura Negara Kecil Yang Sombong
Terlepas dari alasan yang digunakan oleh pemerintah Singapura untuk menolak UAS, bagi masyarakat Indonesia, sikap Singapura tersebut terkesan tidak bersahabat. UAS sendiri bahkan menyebut Singapura negara kecil yang sombong. Fadli Zon, ketua DPR RI menyatakan bahwa tindakan Singapura itu sebagai sebuah penghinaan.
Anwar Abbas, wakil ketua MUI, menyatakan peristiwa ini bisa menimbulkan kebencian terhadap Singapura meningkat. Lihat lebih lanjut di video Catatan Demokrasi TVOne ini.
Eggi Sudjana, Tim Pembela Ulama & Aktivis, antara lain meminta agar presiden memanggil duta besar Singapura. "Kita ini sedang dihinakan oleh Singapura," tegas Eggi.
Catatan Saya
Saya tidak pernah ke luar negeri, selain ke Mekkah dan Madinah dalam rangka menunaikan ibadah haji. Mengetahui soal keimigrasian ini jadi keder juga ingin jalan-jalan ke negeri orang. Pasalnya, petugas imigrasi bisa secara subyektif menerima dan menolak kita untuk masuk ke negaranya, dan itu bersifat final dan tidak bisa dikomplain.
Tentu nama saya tidak akan ada di komputer mereka sebagai orang "bermasalah" yang tidak diterima, karena saya bukan siapa-siapa bahkan tidak berbuat apa-apa (:D). Tetapi, mulai sekarang saya harus hati-hati agar tidak berbicara dan menulis sembarangan yang bisa secara subyektif dinilai tidak comply dengan situasi sebuah negara. Atau, lebih baik tidak berkata apa-apa dan tidak berbuat apa-apa?
Yo weslah. Kata mendiang pak Harto "ora pati-en".