Kampung halaman...Bima, Nusa Tenggara Barat, adalah kota kelahiran saya. Konon kata HAMKA, kalau mau belajar Islam ya di Aceh atau di Bima.
Memang, Bima adalah sebuah kerajaan/kesultanan Islam pada jaman dulu (jaman Belanda). Rajanya adalah keluarga raja-raja Gowa di Sulawesi Selatan, bersaudara pula dengan raja-raja Islam lain seperti Sumbawa, Dompu, dan Sanggar (nah kerajaan yang ini lenyap oleh letusan gunung Tambora).
Masyarakat Bima hampir semuanya beragama Islam, hanya sedikit yang non-Islam, terutama pendatang-pendatang etnis Cina yang Kristen dan sedikit masyarakat asli yang terkena misionaris Katholik. Agama lain hampir tidak ada.
Sewaktu kecil, kami selalu belajar ngaji (membaca Al-Quran). Umumnya kami belajar di rumah sendiri dibimbing oleh orang tua (yang rata-rata memang bisa baca Quran). Ada juga yang belajar di rumah guru ngaji. Nah, ternyata --saya sadari kemudian-- inilah yang membuat perbedaan, bahwa kami yang belajar sendiri di rumah, ngajinya kurang bagus. Kami (terutama di keluarga saya) tidak diajari Ilmu Tajwid, hanya cukup bisa membaca Quran tidak salah, atau bisa lancar.
Namun banyak juga teman-teman yang dibekali orang tua atau guru ngajinya dengan cara membaca Al-Quran secara lebih baik. Tidak sedikit yang menjadi juara MTQ, bahkan ada yang berhasil menjadi juara peringkat nasional maupun internasional (nah ini saya kurang tahu siapanya). Ada teman saya (anak Bima) ketika saya tinggal di Yogya dulu, dia bahkan bisa mendapat nafkah dari membaca Al-Quran, diundang orang-orang yang punya hajatan atau acara.
Di Jakarta dsk, saat kini, saya suka mengambil kesimpulan bahwa orang Bima itu mudah ditemukan. Datang saja ke Masjid atau Musholla, lalu tanyakan dimana ada orang Bima. Insya Allah, kalau bukan menjadi pengurus Masjid atau Musholla tersebut, orang Bima sering ikut menjadi ustadz atau imam, atau terlibat dalam kegiatan-kegiatan pengajian.
Profesi orang Bima lainnya yang paling umum adalah menjadi Guru. Rata-rata teman/tetangga yang saya kenal mengetahui ada orang Bima yang menjadi guru di sekolahnya dulu, atau menjadi guru ngaji.
Belakangan ini banyak juga anak Bima yang berprofesi di bidang IT (termasuk saya hehehe). Namun ada juga yang berprofesi "dagang keliling", keluar masuk kampung/daerah/kota orang menawarkan produk --yang saya tahu-- seperti minyak lawang dan minyak kayu putih. Tetapi mereka ini, setahu saya, juga pintar-pintar ngaji dan selalu menjadi seorang muslim.
That is, Bima itu dikenal dengan keislamannya, dan profesi guru bagi anak Bima yang di rantau.
Padahal Bima juga diidentikkan dengan "madu" dan "susu kuda liar". Bima juga identik dengan "keras" (orangnya suka/cepat tersinggung dan cenderung untuk berantem.. hehe.. saya juga memiliki sifat itu.. namun berusaha untuk ditekan habis... malu :)
Well, Bima sebagai daerah sebenarnya -dalam pandangan banyak pihak- tidaklah termasuk daerah yang cukup membanggakan secara ekonomi maupun potensi alam. Masyarakat Bima -di Bima- cenderung hidup dalam kesahajaan -bukan kemakmuran. Hanya sebagian kecil masyarakat yang telah mengangkat derajat kesejahteraannya ke tingkat sejahtera. Masih banyak yang tergolong tidak sejahtera, hidup apa adanya, dan tidak berusaha untuk mengejar kemakmuran. Orang Bima cenderung tidak ambisius, sederhana, dan memandang kesederhanaan sebagai hal lumrah.
Alam di Bima sama saja dengan kebanyakan daerah lain di Indonesia, atau lebih tepatnya di luar Jawa-Bali (kedua pulau ini nyata lebih subur). Bima terletak di pinggir laut, namun dikelilingi oleh gunung. Jadi antara gunung dan laut. Gunung, atau bukit-bukit, cenderung tandus/gersang. Hutannya bukanlah penghasil kayu atau rotan (atau hasil hutan lainnya seperti di Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan). Tanah di gunung lebih banyak dimanfaatkan untuk menanam kedelai dan jagung. sementara tanah sawah tergolong tadah hujan, sehingga frekuensi panen padi tidak sering.
Kehidupan masyarakat nelayan juga tidak terlalu baik. Hasil menangkap ikan cuma sekadarnya saja, hanya cukup buat hidup sederhana/apa adanya, dan kalau bisa menyekolahkan anak dan naik Haji (nah ini yang istimewa bagi orang Bima, pandangannya terhadap menyekolahkan anak cukup bagus, mereka -kalau bisa- ingin atau suka/rela menghabiskan harta untuk menyekolahkan anak. Kalau ada harta lagi, mereka akan segera naik Haji, menyempurnakan rukun Islam).
Kembali ke nelayan, laut di Bima berupa teluk, namun tidak cukup dalam sehingga kapal-kapal besar tidak bisa berlabuh (apalagi daya dukung pelabuhan tidak memadai). Ada juga laut utara dan laut selatan, namun tidak cukup dieksploitasi karena keterbatasan pengetahuan dan peralatan. Nelayannya tergolong tradisional, dan harta lautnya hanya dieksploit oleh orang-orang lain secara rakus dan tidak bertanggung jawab (misal pakai bom atau pukat harimau, tapi saya tidak punya fakta sendiri tentang ini, namun cukup sering terjadi kasus yang juga diberitakan di media dan internet, silahkan search sendiri ya...)
Hmmm.. untuk saat ini saya sudahkan segitu dulu ya cerita tentang Bima... mudah2an ada kesempatan lagi untuk saya bercerita lebih banyak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar